Oleh: Suyono Saeran (Staf Khusus Gubernur Kepri)
Sektor industri masih memegang peranan penting dan cukup mendominasi dalam pembangunan ekonomi di suatu daerah dan Negara. Karena besarnya kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB), banyak Negara kemudian berlomba-lomba beralih ke Negara industri. Catatan sejarah di abad 21 tentang keberhasilan revolusi industri yang memberikan output 400 persen pada PDB Negara Inggris saat itu, juga menjadi salah satu alasan kenapa sebuah Negara lebih mengandalkan pendapatan per kapitanya pada sektor industri.
Di Indonesia sendiri sebenarnya gaung industrialisasi sudah dikumandangkan sejak pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam rencana pembangunan yang tertuang dalam Repelita I sampai V, pemerintah Indonesia saat itu sudah menekankan bahwa sektor industri memegang peranan penting dan strategis dalam pendapatan per kapita nasional. Hal ini juga terbukti ketika Indonesia memulai hilirasi industri pada masa itu, PDB Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan.
Dari data yang terangkum, pada tahun 1980 kontribusi sektor industri mampu menyumbang 11,6 persen dari pendapatan Negara. Tetapi sayangnya, di era Orde Baru kebijakan hilirisasi industry tidak dibarengi dengan kebijakan penghentian ekspor bahan mentah (raw material) sehingga hilirisasi industri berjalan lambat dan tidak sesuai target yang diharapkan.
Semangat hilirisasi industri kemudian bangkit lagi di era kepemimpinan Joko Widodo. Di beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya industri pengolahan bagi mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro. Dalam pidato ketika meresmikan ekspor bubuk alumina oleh PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang Kabupaten Bintan pada Selasa (25/01/2022) kemarin, saat ini Indonesia harus punya keberanian untuk menghentikan ekspor raw material dan memulai babak baru sebagai Negara industri.
Joko Widodo mendorong perusahaan-perusahaan dapat melakukan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi dan setengah jadi untuk meningkatkan nilai tambah dari bahan mentah tersebut. Sektor industri juga memberikan banyak keuntungan, tidak hanya dari segi pendapatan Negara yang diambil dari pajak pribadi dan perusahaan, tetapi yang jauh lebih penting sektor industri menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Di sisi lain, sektor industri punya multi player effect bagi hidupnya usaha mikro, kecil dan menengah.
Penegasan Joko Widodo tentang keniscayaan sebuah hilirisasi industri tersebut karena secara factual, sektor industri masih memegang salah satu kunci keberhasilan perekonomian nasional. Sektor industri dipandang sebagai kue manis dalam pembangunan perekonomian yang pada gilirannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dari data di Kementerian Perindustrian, di tahun 2021 sektor industri pengolahan berkontribusi 26 persen terhadap PDB Indonesia. Tidak hanya itu, industri manufaktur juga konsisten memberikan kontribusi paling besar terhadap capaian nilai ekspor nasional. Pada Januari-November 2021, nilai ekspor dari industri manufaktur mencapai USD160 miliar atau berkontribusi sebesar 76,51 persen dari total ekspor nasional.
Angka itu telah melampaui capaian ekspor manufaktur sepanjang tahun 2020 sebesar Rp131 miliar, dan bahkan lebih tinggi dari capaian ekspor tahun 2019. Jika dibandingkan dengan Januari-November 2020 (c-to-c), kinerja ekspor industri manufaktur pada Januari-November 2021 meningkat sebesar 35,36 persen. Kinerja ekspor sektor manufaktur ini sekaligus mempertahankan surplus neraca perdagangan yang dicetak sejak bulan Mei 2020.
Hal ini membuktikan aktivitas industri manufaktur Indonesia masih cukup menggeliat dengan meningkatnya produksi dan permintaan pasar ekspor. Berdasarkan hasil survei IHS Markit, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan Desember sebesar 53,5 atau masih di atas level ekspansif (50).
Keberhasilan hilirasi industri di era Joko Widodo juga ditunjukkan dengan pertumbuhan industry manufaktur yang melesat cukup tinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Dari data di PMI Manufaktur Indonesia pada Desember 2021 industri manufaktur Indonesia melampaui PMI Manufaktur negara-negara ASEAN seperti Thailand (50,6), Filipina (51,8), Vietnam (52,2), dan Malaysia (52,8). Bahkan juga mampu unggul terhadap PMI Manufaktur Korea Selatan (51,9), Rusia (51,6), dan China (49,9).
Tentu ini sebuah harapan yang optimistis bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Penegasan Presiden Joko Widodo tentang keberanian Indonesia untuk tumbuh sebagai Negara industri dengan menutup buku Indonesia sebagai Negara pengeskpor bahan mentah, harus jadi momentum untuk bangkit sebagai Negara besar dan mandiri. Ketergantungan impor yang besar harus mulai dikurangi dan lebih memberdayakan potensi dalam negeri untuk tumbuhnya industri manufaktur yang besar dalam negeri. Kesempatan Indonesia untuk tumbuh sebagai Negara industri yang besar cukup terbuka mengingat Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam yang potensinya lebih dari cukup untuk mendorong tumbuhnya industri manufaktur.
Dalam dunia pertambangan Indonesia punya minyak, gas, emas, nikel, batu bara, bauksit, besi dan sebagainya. Laut kita yang luas menyediakan potensi penghasilan yang besar seperti ikan dan rumput laut. Bumi Indonesia yang subur merupakan sentra pertanian dan tanaman industri yang terkenal di dunia.
Berbagai potensi yang dimiliki tersebut harus dimanfaatkan secara maksimal dengan berbagai inovasi dan kreativitas bagi terciptanya kemakmuran masyarakat. Keberanian kita untuk keluar dari zona nyaman sebagai pengekspor bahan mentah dan beralih industri manufaktur dengan berbekal kekayaan sumber daya yang kita miliki tersebut, merupakan langkah strategis untuk meningkatkan bargaining posisition Indonesia sebagai Negara besar dan kuat.
Langkah ini juga sekaligus upaya massif dalam menghentikan eksploitasi bumi Indonesia dari kerusakan lingkungan akibat pengerukan sumber daya alam yang tidak terkendali guna memenuhi kuota ekspor bahan mentah untuk memenuhi permintaan pasar dunia.***