Beritaibukota.com,KEPRI – Potensi laut Kepulauan Riau bukan hanya soal minyak bumi, gas, ikan berlimpah hingga mengundang nelayan asing untuk menjarahnya, tetapi juga Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) atau lebih dikenal dengan sebutan harta karun yang tertanam di bawah laut. Permasalahannya hingga saat ini belum ada kepastian terkait seberapa besar potensi BMKT di laut Kepri. Pastinya sejauh ini sudah banyak kasus pencurian BMKT yang sudah diamankan pihak berwajib dengan sejumlah barang bukti BMKT.
Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu gerbang masuknya para pedagang internasional ke nusantara sejak lama. Daerah ini memiliki sejarah maritim yang panjang, dan aktivitas perdagangan global terekam secara baik di kawasan ini dengan ditemukannya situs-situs arkeologi, salah satunya situs kapal karam dan barang komoditasnya. Sayangnya, potensi yang besar itu belum termanfaatkan dan belum memberi dampak ekonomi bagi pemerintah daerah dan masyarakat Kepri. Ironisnya, aksi penjarahan BMKT di Kepri yang berlangsung sejak lama masih berlangsung hingga kini. Para arkeolog dan sejarawan juga semakin cemas karena pemerintah membuka izin pencarian harta karun kepada investor asing sesuai amanat Amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tahun 1986 dunia dibuat terkejut oleh hasil penemuan spektakuler Michael Hatcher, warga Australia yang dikenal dunia sebagai raja penyelamat kapal karam. Hatcher berhasil mengangkat harta karun kapal Geldermalsen milik VOC di Perairan Karang Heluputan, Bintan Timur, Kepulauan Riau. Hasil yang diapat luar biasa. Berupa 126 batang emas seberat 50 kilogram dan 160.000 benda keramik Cina. Barang ini kemudia dijual di Balai Lelang Internasional Christy’s dan menghasilkan 18 juta dollar Amerika. Kisah perburuan harta karun itu, pada 1987 ditulis Hatcher bersama Max De Rham dan Antony Thorncroft dalam buku setebal 176 halaman berjudul The Nanking Cargo dan diterbitkan Universitas California.
Banyak pro kontra atas penemuan harta karun itu. Pemerintah Indonesia tidak mendapat bagian dari hasil penjualan BMKT itu. Tidak hanya itu, tidak ada arkeolog Indonesia yang dilibatkan dalam proses pencarian dan pengangkatan BMKT di wilayah Kepri itu. Namun, disisi lain penemuan BMKT yang hasilnya luar biasa itu jadi penanda Indonesia khususnya Kepri memiliki potensi BMKT yang besar dan belum tergali.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2000, potensi BMKT atau harta karun bawah laut perairan Indonesia tersebar di 464 titik. Harta karun tersebut berasal dari bangkai-bangkai kapal yang tenggelam di perairan nusantara. Kapal tersebut adalah kapal dagang dari Cina, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, Jepang, dan lainnya.
Lokasi harta karun bawah laut itu meliputi Selat Bangka (7 lokasi), Belitung (9 lokasi), Selat Gaspar, Sumatera Selatan (5 lokasi), Selat Karimata (3 lokasi), dan Perairan Kepulauan Riau (17 lokasi). Selanjutnya, Selat Malaka (37 lokasi), Kepulauan Seribu (18 lokasi), perairan Jawa Tengah (9 lokasi), Karimun Jawa (14 lokasi), dan Selat Madura (5 lokasi).
Potensi harta karun juga diperkirakan berada di NTB dan NTT (8 lokasi), Pelabuhan Ratu (134 lokasi), Selat Makassar (8 lokasi), perairan Cilacap (51 lokasi), perairan Arafuru (57 lokasi), dan perairan Ambon (13 lokasi). Sisanya, berada di perairan Halmahera (16 lokasi), perairan Morotai (7 lokasi), Teluk Tomini, Sulawesi Utara (3 lokasi), Papua (32 lokasi), dan Kepulauan Enggano (11 lokasi).
*) Sejarah Jalur Rempah Kepri
Wilayah perairan Kepulauan Riau merupakan wilayah strategis bagi pelayaran dunia sejak dahulu, menghubungkan negara-negara di Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Dari eranya Jalur Sutra hingga Jalur Rempah, wilayah Kepulauan Riau selalu menjadi persinggahan dalam titik pelayaran dan menjadi pusat perdagangan khususnya rempah rempah.
“Kepulauan Riau di Pantai Timur Sumatra daerah yang penting dalam perdagangan global sejak masa lalu. Dari era Jalur Sutra dan Jalur Rempah, Kepulauan Riau selalu ramai disinggahi kapal-kapal asing. Tidak hanya Eropa, tapi juga kapal dari Cina, Siam dan berbagai wilayah nusantara. Dari daerah ini dulunya ada rempah seperti lada dan gambir,”kata Anastasia Wiwik Swastiwi, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi Kepri, Jumat (24/09) kemarin.
Kata Wiwik, kemegahan masa lampau Kepri dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan dapat terlihat dalam sejumlah catatan pelancong asing, seperti Tome Pires, Marcopolo maupun dalam naskah kuno sejarah Melayu, seperti Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang, Tuhfat al Nafis karya Raja Ali Haji. Dalam karya-karya itu tergambarkan kondisi pelayaran, perdagangan dan dinamikanya di masa lampau, termasuk kasus perompakan kapal dan sebagainya.
Catatan Adhityatama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (2015) menyebutkan, aktivitas perdagangan melalui jalur laut dan singgah di Kepulauan Natuna mulai dari awal abad ke 12, dimana banyak pedagang-pedagang dari Cina (Tiongkok) membawa komoditasnya untuk diperdagangkan di Nusantara pada masa itu. Jalur pelayaran yang ramai dan kondisi cuaca di Laut Cina Selatan yang sering berubah ubah membuat banyak kapal-kapal pembawa komoditas karam di perairan Laut Cina Selatan.
Aktivitas perompakan dan peperangan di laut juga dapat mengakibatkan karamnya
kapal-kapal pada masa lalu. Hal ini terbukti dengan banyak ditemukannya temuan arkeologi bawah air, berupa kapal yang berisi dengan komoditasnya yang masih relatif utuh. Keberadaan kapal karam ini menunjukkan aktivitas perdagangan yang ditempuh melalui laut pada masa perniagaan secara global yang dimulai dari abad 12. Dapat dilihat dari jenis temuannya yang didominasi oleh temuan artefak berupa keramik Tiongkok yang berasal dari Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, hingga Dinasti Qing. Ada juga keramik yang berasal dari kawasan lain seperti Thailand, Jepang, dan Eropa.
*) Kepri Rawan Penjarahan BMKT
Perairan Kepri jadi incaran pemain atau pemodal bisnis BMKT bukan isapan jempol belaka. Fakta ini terungkap dari banyaknya laporan kasus penjarahan BMKT disejumlah wilayah di Kepri ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat yang wilayah kerjanya membawahi Provinsi Sumbar, Riau dan Kepri.
“Sering laporan ke kita adanya kasus pencurian atau pengambilan sumberdaya arkeologi secara ilegal. Setiap bulan laporan sering penangkapan dilakukan angkatan laut atau bea cukai, tapi aksi penjarahan terus terjadi,”kata Plt Kepala BPCB Sumbar, Teguh Hidayat, Kamis (23/9) kemarin.
Ia menjelaskan, penjarahan sering terjadi di wilayah Perairan Bintan, seperti sekitar Pulau Numbing, Pulau Mapur, Karang Heluputan (Cuyang), dan Tanjung Renggung. Perairan Lingga juga jadi incaran. Praktek pencurian sering terjadi di perairan Batu Belubang. “Nilai ekonominya tinggi, makanya selalu ada yang beraksi meski aparat keamanan sudah melakukan penindakan secara tegas,”katanya.
Senada, Ketua DPRD Lingga, Ahmad Nashiruddin juga mengaku sering menerima informasi dari masyarakat adanya kapal yang melakukan aktivitas mencurigakan di laut yang dalam bahasa masyarakat disebut mencari harta karun. “Sering ada laporan dari warga. Kapal yang mencuri muatan kapal tenggelam itu kapal canggih. Beberapa tahun lalu masyarakat di Senayang melakukan penangkapan. Pak Bupati Lingga, Alias Wello saat itu turun ke lokasi,”kata Nashiruddin, kemarin.
Kejadian yang dimaksudkan Nashiruddin adalah warga mengamankan Kapal Armada Salvage 8 tanggal 26 Maret 2016 di Perairan Selat Pintu, Senayang, Kabupaten Lingga. Pihak kapal beralasan hanya mencari besi bekas yang ada di dasar laut. Alasan ini tidak dipercayai oleh masyarakat. Bupati Lingga, Alias Wello saat itu ikut naik ke kapal dan memeriksa kondisi kapal yang digunakan diduga mencari BMKT. Kapal kondisinya dilengkapi teknologi canggih dan tipe kapal bukan kapal yang biasa digunakan untuk mencari ikan.
Aksi penjarahan kapal tenggelam juga terjadi di Perairan Natuna. Dalam penelitian Puslit Arkenas, aksi penjarahan kapal-kapal tenggelam marak terjadi di Natuna. Malahan, barang hasil jarahan diperjualbelikan. Banyak orang datang ke Natuna untuk bisnis BMKT ini. Tidak hanya di Natuna, patroli Gugus Keamanan Laut Armada Barat menangkap dua kapal yang melakukan aksi penjarahan BMKT di wilayah selatan perairan Karang Heluputan, Bintan, Provinsi Kepulauah Riau tahun 2014 lalu. BMKT yang diamankan sebanyak 675 keping keramik kuno dari dasar laut. Perinciannya, 294 gelas, 41 piring besar, 320 piring kecil, 1 cangkir, 7 tutup guci, 2 mangkuk, 4 tutup mangkuk, dan 6 cepuk.
Selain aksi penjarahan menggunakan alat canggih, di Kepri juga terdapat sejumlah penyelam harta karun yang melakukan aksi penjarahan secara tradisional. Resiko dengan alat selam seadanya lebih memiliki resiko tinggi. Para penyelam tradisional hanya mengandalkan angin kompresor ketika turun ke dasar laut mencari harta karun. Pengakuan penyelam tradisional, resiko kehilangan nyawa adalah taruhannya.
“Jika kompresor bermasalah di saat menyelam, nyawa kami jadi taruhannya. Minimal telinga kami jadi pekak karena tekanan air di dasar laut,” kata salah satu penyelam yang identitasnya tidak mau dipublikasikan.
*) Investasi Asing dalam BMKT
Diusianya yang sudah senja, usai pensiun sebagai pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hati Surya Helmi sedang gundah. Hal yang membuatnya risau adalah keluarnya beleid Undang Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Di dalam aturan tersebut mengatur soal izin investasi BMKT. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan asing boleh masuk dan berinvestasi dalam mencari harta karun dari muatan kapal karam zaman dahulu di Indonesia. Sebelumnya izin ini ditutup untuk investor asing.
Kerisauan Surya berdasarkan pengalaman masa lampau. Pihak asing terlihat lebih sigap dan siap soal temuan harta kapal karam di perairan Indonesia ini. Ia mencatat dalam pengangkatan harta kapal karam yang melibatkan pihak asing, selalu tidak menguntungkan pemerintah Indonesia. Dari puluhan pengangkatan kapal karam yang pernah dilakukan hanya beberapa saja yang dinilai berhasil, selebihnya menghasilkan puluhan ribu keramik yang tidak laku dijual.
“Orang asing selalu yang untung, sementara kita tidak dapat apa-apa. Jadi membuka kesempatan pada investor asing untuk berusaha dalam bisnis BMKT, itu tidak masuk akal,”kata Surya dalam Webinar BMKT yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bulan Maret 2021 lalu.
Dalam catatan Surya, ada sejumlah kasus pencarian dan pengangkatan BMKT yang dilakukan pihak asing yang merugikan Indonesia. Ia mencontohkan, kisah Michael Hatcher di Kepulauan Riau yang menemukan keramik dan ratusan batang logam mulia dari kapal milik VOC De Geldermalsen. Meski tidak ada izin, namun nyatanya Hatcher berhasil lolos dan menjual barang temuannya di luar negeri. Indonesia tidak dapat bagian apa-apa.
Kisah kedua adalah pengangkatan BMKT dari situs perairan Batu Hitam Kepulauan Belitung. Di situs ini ditemukan muatan dari kapal karam Dinasti Tang, Cina. Pengangkatannya pada akhir dekade 1990-an. Temuan hartanya malah sudah dilelang dan menjadi milik Singapura senilai 32 juta dolar AS. Bagian untuk pemerintah Indonesia tidak begitu signifikan.
Pada 1999 Michael Hatcher yang datang kembali ke Indonesia menemukan titik kapal karam Tek Sing, kapal milik Cina yang hendak berlayar ke Batavia namun tenggelam di Kepulauan Bangka. Dari bangkai kapal itu, Hatcher menemukan ribuan keramik berharga yang menjadi salah satu temuan terbesar keramik kapal karam. Temuan kemudian dibawa ke Singapura dan Australia. Indonesia hanya dapat bagian Rp4,2 M dari penjualan BMKT itu.
Tidak hanya Surya Helmi, Anggota TACB Provinsi Kepri, Anastasia Wiwik Swastiwi, juga menilai pembukaan investasi asing untuk mengangkut BMKT tidak sesuai dengan aturan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ia berpendapat benda cagar budaya bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, terkait dengan kegiatan mencari ‘harta karun’ kapal tenggelam, lalu melelangnya di dalam negeri atau dibawa ke luar negeri. “Jangan selalu melihat sisi ekonominya,”kata Wiwik.
Pengelolaan cagar budaya bawah air di Indonesia dapat diamati mulai dari keberadaan kepanitian nasional yang mengoordinasi pemanfaatan nilai ekonomi yang disebut Panitia Nasional Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (PANNAS BMKT) untuk diambil dan dijual. Sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2011, PANNAS BMKT telah mengeluarkan izin survei,pengangkatan, dan pemanfaatan situs BMKT di 75 lokasi. Namun, upaya eksploitasi tinggalanbudaya kapal tenggelam beserta muatannyahingga sekarang masih belum memberikan manfaat kepada banyak pihak, termasuk masyarakat sekitar yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan tinggalan budaya bawah air tersebut.
Obral izin yang diberikan PANNAS BMKT terhenti sejak 2011. PANNAS BMKT memberlakukan penghentian sementara (moratorium) pemberian rekomendasi izin survei dan izin pengangkatan BMKT sejak tanggal 11 November 2011 hingga sekarang. Moratorium itu sebagai tindak lanjut terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Konvensi Internasional Perlindungan Tinggalan Bawah Laut/Air Tahun 2001. Kebijakan dan peraturan tersebut diperkuat dengan Permen-KP/2016 tahun 2016 tentang ketentuan moratorium perizinan survei dan pengangkatan tinggalan budaya kapal tenggelam beserta muatannya.
Meski banyak pro kontra moratorium itu dicabut dengan keluarnya UU Cipta Kerja. Ada 14 bidang usaha telah dibuka, salahsatunya BMKT. Ini diatur dalam Perpres Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Dalam pengelolaan BMKT, pemerintah juga telah memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 276 tahun 2018. Lahirnya SKKNI ini dengan alasan kegiatan survei dan pengangkatan BMKT merupakan kegiatan yang berisiko kecelakaan tinggi, mengingat area kerja di laut yang memerlukan keterampilan dan keahlian khusus. Sementara, mekanisme pelaksanaan survei dan pengangkatan BMKT oleh perusahaan pengangkat BMKT belum memiliki standar kompetensi kerja nasional.
*) Kajian Arkeologi dan Wisata Selam
Keberadaan kapal karam kuno tidak hanya memiliki potensi ekonomi barang-barang di dalamnya. Disisi lain dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian arkeologi, kesejarahan dan dapat juga dimanfaatkan untuk aktivitas wisata bahari, khususnya wisata selam.
Kapal karam merupakan bukti langsung secara arkeologi untuk merekonstruksi aktivitas pelayaran laut. Dari temuan kapal karam dapat dipelajari teknologi struktur kapal itu sendiri, navigasi laut dalam jalur perdagangan, interaksi budaya, serta jenis komoditas yang dipasarkan di Kepulauan Riau pada masa lampau. “Aktivitas perdagangan masa lalu tersaji dengan sangat baik di situs-situs arkeologi bawah air. Baru sebagian kecil situs arkeologi di Kepulauan Riau yang bisa kita identifikasi,”kata Plt Kepala BPCB Sumbar yang wilayah kerjanya mencakup Sumbar, Riau dan Kepri, Teguh Hidayat.
Teguh menyebutkan, informasi tentang tinggalan-tinggalan yang terkait dengan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di wilayah perairan Kepulauan Riau masih belum tertata dan terkumpul secara lengkap dan akurat. Padahal hal tersebut sangat penting bagi upaya pelestarian dan pemanfaatannya dikarenakan data hasil riset sumberdaya arkeologi bawah air tersebut mutlak diperlukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan di bidang pembangunan
”Tinggalan arkeologis bawah air tersebut memilki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Utamanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan bisa juga wisata bahari,”ujarnya.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi dua kelompok nilai yang terkandung dalam kapal tenggelam, yakni pemanfaatan yang mengacu pada nilai sejarah dan ilmu pengetahuan serta pemanfaatan yang mengacu pada nilai ekonomi. Nilai penting dari situs tinggalan budaya kapal tenggelam beserta muatannya, antara lain memiliki nilai etnik, nilai estetis, nilai public dan nilai politik.
Penelitian Ardiwidjaja (2017) menyimpulkan, pemerintah hanya terfokus pada nilai ekonomis yang terkandung di dalam BMKT sehingga eksploitasi pemanfaatan benda tersebut sebagai suatu komoditas menjadi lebih marak, baik secara legal maupun ilegal. Kondisi ini tentunya akan menyebabkan hilangnya data kesejarahan dan kebudayaan yang penting dalam merekonstruksi sejarah peradaban khususnya budaya bahari bangsa Indonesia.
Menurut Ardiwidjaja, wisata bahari memungkinkan mengakomodasi adanya perubahan perkembangan wisatawan dari wisata massal ke wisata minat khusus yang sangat peduli terhadap upaya pelestarian, termasuk memanfaatkan situs tinggalan budaya kapal tenggelam beserta muatannya menjadi daya tarik wisata selam. Wisata selam mampu mengubah pemanfaatan tinggalan budaya kapal tenggelam
beserta muatannya dari ekonomisasi barang komoditas menjadi ekonomisasi pengalaman
dan pengetahuan yang diperjualbelikan.
Di Indonesia, ada sejumlah lokasi wisata kapal tenggelam. Seperti di Tulamben (Bali), Raja Ampat (Papua Barat), Mandeh (Sumbar), Pantai Sosol (Halmahera), Morotai (Maluku Utara). Sementara di Kepri, wisata selam kapal karam atau tenggelam belum begitu popular. Sejumlah titik sudah mulai muncul dan bisa jadi pilihan bagi wisatawan. Misalnya, Situs Karang Panjang, Perairan Pulau Laut Natuna. Situs kapal karam ini bentuknya kapal berteknologi mesin uap, struktur kapal berbahan campuran besi dan kayu dengan sebagian besar telah ditumbuhi karang sehingga telah menyatu dengan ekosistem bawah lautnya.
Meski belum popular, Pulau Bintan juga memiliki potensi wisata selam kapal karam. Namanya, situs kapal tenggelam Senggiling yang merupakan salah satu potensi tinggalan arkeologi bawah air yang berada di Pesisir Utara Pulau Bintan. Situs tersebut berupa kapal kayu dengan teknologi pembuatan abad ke-19 dari Eropa. Barang muatannya berupa batuan beku persegi, barang porselen, figurin earthenware, botol kaca, lempengan logam, pasak kayu kapal, lantai tanah liat, sendok porselen, dan botol obat berbahan stoneware. Diduga barang muatan kapalnya berasal dari Eropa dan Cina abad ke-18 hingga ke-19.
Selain Natuna, Bintan, daerah lainnya seperti Lingga, Batam, Anambas dan Karimun juga memiliki potensi wisata kapal karam ini. Hal ini dapat terlihat dalam upaya Balai Arkeologi (Balar) Sumatra Utara yang wilayah kerjanya mencakup hingga Kepri, aktif dalam penyelaman disejumlah titik untuk mengidentifikasi situs kapal karam. Selain Balar Sumut, upaya pendataan dan identifikasi BMKT di Kepri juga sering dilakukan tim dari Pusat Arekologi Nasional dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat. Keduanya unit kerja dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hasilnya, baru sebagian kecil titik yang bisa diidentifikasi. (tim)