Beritaibukota.com,KEPRI – Pemerintah Provinsi Kepri untuk sementara terpaksa menghentikan pemungutan retribusi daerah untuk labuh jangkar. Hal itu dikarenakan berdasarkan surat dari Menteri Perhubungan.
Pemerintah Kepri sendiri tidak tinggal diam dan akan melakukan langkah upaya hukum dengan meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) RI terkait pemahaman regulasi hukum yang mengatur terkait pelayanan retribusi kepelabuhan daerah.
Gubernur Kepulauan Riau H. Ansar Ahmad telah menyurati Menteri Perhubungan RI guna menindaklanjuti perihal Penyelesaian Permasalahan Pengenaan Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan oleh Pemerintah Daerah yang beredar luas dimasyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini menurut Gubernur sangat perlu untuk disikapi
dan ditanggapi demi kepastian hukum dan penegakan hukum guna menghapus pemahaman kurang baik dalam pelaksanaan tugas Pemerintahan oleh Pejabat Pemerintahan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Tujuan surat tersebut sekaligus untuk menghilangkan praduga Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah mengenakan pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan berdampak biaya tinggi. Karena sejauh ini ditegaskan Gubernur bahwa Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sangat taat atas
asas hukum dalam pemberlakukan Retribusi Daerah dengan mengacu pada ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD), yang
menegaskan bahwa objek retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Rincian atas jenis-jenis jasa pelayanan kepelabuhan termasuk fasilitas lainnya dilingkungan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
diuraikan secara teperinci sebagai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 72 Tahun 2017 tentang
Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepalabuhanan, yang mengelompokkan tarif pelayanan kepelabuhanan menjadi dua jenis yang
meliputi jenis tarif pelayanan jasa kepelabuhanan dan jenis tarif pelayanan jasa terkait kepelabuhan.
“Total jenis pungutan jasa sebanyak 50 jenis dan dalam penerapannya dilingkungan pelabuhan wajib mengacu dan mempedomani akan hak kepemilikan, hak
penyediaan dan/atau hak pengelolaan,” kata Gubernur.
Adapun dalam pungutan jasa kepelabuhanan dilingkungan pelabuhan, lanjut Gubernur harus disesuaikan dengan perkembangan pengaturan pembagian wewenang akan
pengelolaan wilayah laut. Dan maka sesuai amanah Pasal 18A UUD 1945, Pasal 27 UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 75 ayat (6) UU
Nomor 17 Tentang Pelayaran, terdapat kewenangan atribusi oleh Daerah Provinsi dalam pengelolaan wilayah laut yang mengakibatkan adanya hak pungutan terhadap
2 jenis jasa pelayanan kepelabuhanan dilingkungan pelabuhan yang dikenakan berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut yaitu jasa labuh/parkir kapal dan
penggunaan perairan yang berlangsung didalam ruang laut hak pengelolaan Daerah Provinsi yaitu didalam 12 mil laut dari garis pantai.
“Oleh karenanya diusulkanlah ke 2 jenis pungutan jasa pelayanan kepelabuhanan tersebut kedalam rancangan peraturan daerah tentang Retribusi Daerah dan
dibahas dengan mekanisme sesuai dengan UU 28 Tahun 2009, yang kemudian disetujui dan disahkan menjadi Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang Retribusi Daerah
Provinsi Kepulauan Riau,” jelas Gubernur lagi.
Untuk meluruskan kesimpang siuran ini, lanjut Gubernur lagi, bahwa penerapan Perda Nomor 9 Tahun 2017 terkait jasa pelayanan kepelabuhanan pada pelayanan
kepelabuhanan yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau tidak pernah gegabah untuk menerapkannya dikarenakan saat Perda tersebut
diundangkan seluruh pungutan jasa labuh dan penggunaan perairan yang sebelumnya merupakan pungutan PT. Pelindo (Persero) telah diambil alih pemungutannya
oleh Kementerian Perhubungan sejak September 2015 dipungut disemua wilayah perairan tanpa membedakan wewenang akan pengelolaan wilayah laut.
“Terkait hal ini perlu diselaraskan kembali agar pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak ada pungutan berganda yaitu dengan
cara pungutan Pemerintah Pusat untuk ke 2 jenis jasa tersebut didalam 12 mil untuk dihentikan mengingat Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah siap
melaksanakan wewenangnya atas pemanfaatan wilayah laut, sehingga pasal 115 ayat (2) UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur bahwa Pemerintah
mengambil alih wewenang karena Pemerintah Daerah tidak melaksanakan wewenangnya gugur dengan sendirinya,” kata mantan anggota DPR RI ini.
Upaya Gubernur untuk lebih meyakinkan jenis pungutan jasa kepelabuhanan hak daerah tersebut dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian guna menghindari
biaya tinggi karena pungutan berganda, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memberikan kepastian kepada masyarakat/badan
usaha pengguna, maka Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan beberapa upaya hukum, administratif serta pelayanan, untuk memperjelas perbedaan dan
pemisahan akan wilayah berlakunya pungutan jasa labuh dan penggunaan perairan yang tertuang dalam PP Nomor 15 Tahun 2016 dengan yang tertuang didalam Perda
Nomor 9 Tahun 2017.
“Saat ini kita sedang meminta penjelasan kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan yang telah menjelaskan bahwa jasa labuh yang dipungut Kementerian
Perhubungan adalah atas penggunaan alur pelayaran. Disamping kita juga minta agar diselesaikan sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur non
litigasi di Kemeterian Hukum dan HAM sebagaimana amanah pasal 16 UU Nomor 30 Tahun 2014, yang kesimpulan hasil sidang diantaranya telah menguatkan hak
daerah atas pungutan jasa labuh dalam arti parkir kapal dan penggunaan perairan dalam 12 mil menjadi hak daerah dan diatas 12 mil merupakan wewenang
Pemerintah Pusat, dengan hasil sidang berupa kesepakatan yang dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan dan ditandatangani bersama antara Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau dengan Kementerian Perhubungan dengan disaksikan oleh Majelis Pemeriksa dan Kementerian terkait,”pintanya.
Selain itu Gubernur juga meminta agar legal opinion dari Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, yang telah memberikan pendapat hukumnya yaitu menguatkan hak
daerah atas otonomi pengelolaan wilayah laut 0-12 mil, dengan mempertegas bahwa tindakan pungutan PNBP Kementerian Perhubungan terhadap pungutan atas
pemanfaatan wilayah laut dalam 12 mil sesungguhnya telah bertentangan dengan asas legalitas.
Kemudian memohon pendapat juga kepada Kepala Perwakilan Ombudsman Kepulauan Riau yang telah memberikan tanggapan dengan penegasan bahwa sudah sewajarnya
Pemerintah Daerah melaksanakan hak atas wewenang yang telah diberikan melalui amanah peraturan perundang-undangan untuk memberikan kepastian pelayanan
public. Dan terakhir memintia adanya asistensi kepada Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau, yang telah menegaskan bahwa pungutan daerah provinsi
adalah kegiatan labuh kapal diruang perairan pelabuhan dan wilayah labuh serta penggunaan perairan di wilayah kewenangan daerah provinsi yaitu dari garis
pantai sampai dengan paling jauh 12 mil laut, dan tidak berlaku pada wilayah perairan diatas 12 mil dari garis pantai.
“Bahkan Laporan hasil audit BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau tahun anggaran 2019, menegaskan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk segera
melaksanakan pungutan jasa labuh yang merupakan wewenangnya dengan membuat kesepakatan teknis dengan Kementerian Perhubungan,” jelas Gubernur lagi.
Adapun untuk area perairan dalam 12 mil yang berfungsi sebagai pelabuhan (area labuh jangkar), telah dilakukan langkah pengaturan dan pengawasan serta
promosi yang maksimal sebagai bentuk pelayanan yang berkelanjutan berupa pengalokasian dalam tata ruang laut dan secara bertahap melakukan survey hidro
oseanografi, studi lingkungan dan pengawasan lingkungan laut serta pengawasan pelaksanaan dengan membentuk satuan tugas pengawasan dan promosi oleh Gubernur
Kepulauan Riau serta pelayanan secara online yang sedang dalam tahapan penyiapan.
“Mengacu pada landasan hukum peraturan perundang-undangan, kesepakatan sidang penyelesaian sengketa perundang-undangan, pendapat hukum, pertimbangan,
asistensi dan catatan saran LHA BPK RI, maka Pemeritah Provinsi Kepulauan Riau berkali-kali meminta penyelarasan dengan Ditjen Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan tetapi sayangnya permohonan tersebut tidak pernah ditanggapi, justru pada tanggal 17 September 2021, Plt. Dirjen Perhubungan Laut menyampaikan
surat kepada para Kepala KSOP dan UPP se Kepulauan Riau, termasuk Sulut dan Sumsel dengan memberikan penjelasan yang cenderung kurang tepat dan kesimpulan
pandangan terhadap Perda Nomor 9 Tahun 2017 tanpa dasar dan klarifikasi dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau,” kata Gubernur menyayangkan.
Isi surat tersebut, kata Gubernur lagi, dinilai bertentangan dengan seluruh pertimbangan hukum, pendapat, hasil sidang non litigasi dan kesepakatan yang
telah dibuat bersama serta surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 550/10589/SJ tanggal 30 November 2018, dengan mengarahkan para Kepala KSOP dan UPP untuk
melakukan perbuatan melampaui wewenang berupa anjuran pelaksanaan pungutan jasa PNBP melampaui batas berlakunya wewenang, tanpa koordinasi sedikitpun dengan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, yang berdampak pada timbulnya sengketa kewenangan.
Atas dasar hal itu semua, Gubernur pun memohon kepada Menteri Perhubungan agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara menginstruksikan agar
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melaksanakan hasil kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau khusus terkait pungutan jasa labuh dan
penggunaan perairan yang telah disepakati di Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 31 Oktober 2018, dan bersama-sama Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
melakukan harmonisasi teknis dalam penerapannya.
“Kita dalam bekerja sudah sesuai aturan hukum. Dan kita menyurati Menteri Perhubungan dengan tujuan untuk meluruskan tatanan hukum yang kita nilai kurang
pas,” tutup Gubernur.(*)