Oleh Jaylani, Ketua AJI Tanjungpinang
Sekitar tahun 1993, ada seorang budak kampung umurnya mungkin baru sekitar tujuh tahun ikut bersama orang tuanya ke Tembilahan, Indra Giri Hilir untuk mengunjungi kakaknya yang sedang melanjutkan belajar. Dari kampung, menuju desa dengan menggunakan sampan. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal tambang (semacam jelatik). Karena pada waktu itu, kapal cepat (pancung,red) masih belum tersedia. Perjalanan dari desa menuju ke pusat kota lebih kurang 8-9 jam menyusuri sungai demi sungai.
Setibanya di Tembilahan, ia terpana melihat vespa yang lalu lalang. Karena pada waktu, vespa dan motor honda kaptul (kap tujuh puluh) masih menjadi tren. Begitu juga sepeda motor honda win. Namun yang jelasnya, bagi budak kampung apapun jenis motornya tetap disebut Honda.
Dari pelabuhan tempat kapal bersandar, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan becak. Kenderaan beroda tiga yang digerakan oleh tenaga manusia tersebut membawa ia dan keluarga menuju tempat kos kakaknya (karena sudah lama, jadi lupa nama tempatnya. Karena tiba sudah petang, rencana untuk jalan-jalan ditunda keesokon harinya.
Besok, ia dan keluarga pergi ke kawasan pasar terapung. Karena banyak berjualan beraneka macam, mulai dari beragam kue yang dijual diatas sampan. Karena tidak punya alat penangkap gambar atau video pada waktu itu, momen tersebut hanya disimpan dalam memori kepala saja.
Setelah selesai menikmati wisata kuliner di pasar terapung. Aktivitas lainya juga dilakukan dengan berjalan kaki untuk melihat sudut-sudut di Ibu Kota Kabupaten Inhil tersebut. Mungkin karena budak kampung yang hidup jauh dari kota, dan sehari-sehari berkaki ayam (nyeker,red), mulai dari aktivitas sekolah sampai main. Momen untuk menggunakan sepatu atau sendal adalah setahun dua kali, pertama pada Hari Raya Idul Fitri, kedua pada Hari Raya Haji (Idul Adha,red).
Kebiasaan hidup di kampung yang bertanah gambut, becek ketika hujan berdebu ketika panas. Turut mempengaruhinya ketika tiba di Kota. Karena merasa tidak nyaman untuk berjalan menggunakan sepatu, ia memilih untuk melepaskannya dan menggantung sepatu tersebut dileher dengan menyatukan tali sepatu yang sebelah kiri dan kanan.
Kejadian ini, mendadak membuatnya mendapatkan teguran dari orang tua. Mungkin orang bertanya-tanya, kenapa sepatunya digantung dileher. Yah, yang namanya anak kecil selalu menikmati momen, tidak peduli tetap memilih berjalan tanpa alas kaki sampai kembali ke kos-kosan kakaknya.***