*)Petaka 26 Desember 1999: Robohnya Plafon Gereja
Beritaibukota.com,TANJUNGPINANG – TANGGAL 26 DESEMBER 1999. Sehari setelah perayaan Natal. Plafon gereja roboh. Tidak ada korban jiwa atau luka-luka. Tentu akan lain cerita andaikan petaka ini terjadi malam sebelumnya, ketika umat sedang larut dalam perayaan Natal.
Peristiwa itu membuat perayaan Ekaristi di Gereja Kristus Raja berlangsung dalam sebuah bangunan tanpa plafon dan yang terlihat hanya rangka-rangka. Plafon itu baru diperbaiki semasa Romo Yustinianus Ta’Laleng bertugas. Sehingga ketika itu amat bisa dipahami ketika ibadah dan hujan sedang turun menimbulkan kebisingan.
Apa penyebab robohnya plafon Gereja Kristus Raja?
Menarik untuk menyimak cerita dari Nicodemus Suyandi yang ketika itu juga terlibat sebagai panitia pembangunan Gereja Kristus Raja.
Menurut Suyandi, plafon itu ambruk karena konstruksi rangkanya tidak sesuai dengan penawaran satuan anggaran yang dimenangkan oleh salah satu kontraktor. Ia sendiri sudah melaporkan pandangannya itu kepada Pastor Henry. Tetapi, Pastor Henry tetap bertahan dengan angka yang sudah disepakati, sehingga proses pengerjaan tetap dilangsungkan.
Baru di tengah-tengah perjalanan pengerjaan itu, kekhawatiran itu dirasakan langsung oleh Pastor Henry. Ia risau melihat pemasangan balok untuk plafon gereja. Ia juga meragukan kualitasnya. Sehingga, Pastor Henry kemudian meminta bantuan temannya yang sesama orang Prancis, yang kebetulan berada di Singapura, untuk menghitung ketepatan pemasangan balok dan plafon.
Dalam pengerjaannya, Suyandi juga sempat meminta penambahan balok karena rentangannya terlalu luas. Konstruksi rangka plafon yang dikerjakan dinilai belum maksimal. Suyandi sempat ragu pekerjaan plafon itu karena bentangannya 12 meter x 16 meter tanpa konstruksi rangka plafon dan tanpa rangka induk yang kuat. Dikhawatirkan jika plafon miring maka plafon bisa roboh.
Dan kekhawatiran itu betul-betul terjadi.
Pada 26 Desember 1999, sebagian plafon roboh dan merusak lantai keramik. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, akhirnya seluruh plafon dibongkar dan meningkalkan rangka saja.
Perbaikan atau pemasangan plafon baru tidak bisa langsung dilakukan. Keuangan gereja ketika itu amat terbatas. Baru ketika paroki dipimpin Romo Yustinianus Ta’Laleng perbaikan mulai dikerjakan. Penahan plafon tidak lagi memakai balok kayu, tapi diganti menjadi baja ringan. Berbeda dengan pekerjaan awal yang menggunakan kayu balok dipakai list yang beratnya sudah puluhan ton. (BERSAMBUNG)