Beritaibukota.com,NASIONAL – Sejumlah pihak yang tergabung dalam kolaborasi pentahelix menggelar seminar penting terkait penguatan peran media dan pers dalam pencegahan serta respons terhadap kekerasan berbasis gender.
Seminar melibatkan berbagai pihak seperti Dewan Pers, Kementerian PPPA, UNFPA Indonesia, content creator, serta media elektronik dan radio. Seminar ini berlangsung di Jakarta, Senin (30/10).
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menekankan peran krusial media dalam memberikan informasi yang tidak hanya akurat, namun juga mendidik dan sensitif gender.
Menurutnya, pemberitaan media tidak boleh melanggengkan stereotip gender atau menyalahkan korban.
“Media harus memastikan pemberitaan tidak melanggengkan stereotip gender atau menyalahkan korban,” ujar Ninik.
Lebih lanjut, Ninik menggarisbawahi pentingnya etika jurnalistik dalam mengangkat kasus kekerasan berbasis gender. Dewan Pers, katanya, berkomitmen mendorong media massa untuk menyajikan pemberitaan yang adil dan sensitif, serta memberikan pelatihan bagi jurnalis agar lebih memahami isu ini.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, menambahkan bahwa Kementerian PPPA berkomitmen melindungi hak-hak perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender.
“Media harus berperan aktif dalam kampanye pencegahan kekerasan, mempromosikan kesetaraan gender, dan meningkatkan kesadaran serta solidaritas sosial,” ujar Ratna.
Sementara itu, Asisten Perwakilan UNFPA Indonesia, Verania Andria, menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pencegahan kekerasan berbasis gender.
UNFPA sendiri berfokus pada program yang memperkuat hak-hak perempuan, termasuk akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
Direktur Program dan Berita LPP TVRI, Arif Adi Kuswardono, mengakui bahwa media televisi sering kali terjebak dalam stereotip gender. Namun, TVRI berupaya melalui program ramah anak dan remaja yang telah mendapatkan apresiasi dari KPI. TVRI juga menampilkan program-program inspiratif bagi perempuan.
Redaktur Eksekutif Tempo, Yandhrie Arvian, dalam paparannya menyoroti kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi wartawan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual.
Menurutnya, wartawan tidak boleh mendeskripsikan peristiwa kekerasan seksual secara vulgar, mewawancarai anak korban, atau menggunakan judul clickbait yang merugikan korban.
Dalam ranah radio komunitas, Akhmad Rofahan, Ketua Bidang Media dan Networking Radio Komunitas Indonesia, menjelaskan bahwa radio komunitas tidak hanya soal menyiarkan program, tetapi bagaimana komunitas dapat melayani dirinya sendiri melalui radio.
Terakhir, Nabila Ishma, seorang content creator dan social media influencer, memberikan tips untuk menjadi kreator konten yang baik dan berkualitas.
Ia menjelaskan formula AIDA (Awareness, Interest, Desire, Action) dalam membuat konten yang efektif.
Seminar ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara media, pemerintah, dan sektor swasta dalam menciptakan ekosistem pemberitaan yang adil, informatif, dan sensitif terhadap isu kekerasan berbasis gender. (sumber AJI)