TANJUNGPINANG — Natuna dan konflik kedaulatan maritim ibarat sepasang yang tidak pernah terpisahkan. Permasalahan berdekade yang tidak pernah habis dibicarakan siapa saja, dari level nelayan yang mengandalkan tangkapan ikan untuk makan sehari-hari sampai pejabat level elite yang urusannya merata ke seluruh penjuru negeri.
Natuna—dan lautnya—haruslah berdaulat. Seruan yang berkobar bukan baru-baru belakangan, melainkan sudah bertalu-talu sejak lagi dahulu. Seruan yang tidak saja tercatat oleh kabar di media massa, jurnal-jurnal hukum, beleid-beleid negara, tetapi juga termuat dalam karya sastra.
Adalah penyair Bujang Mat Syamsudin atau yang akrab dengan nama pena BM Syam yang mewanti-wanti kedaulatan maritim dalam sebuah puisinya yang berjudul “Keluh Langkang Kapal Tua”. Pada bait akhir puisi pendek itu, BM Syam menulis:
– Hai, daerah maritiem
‘awan’ terlalu menghijau
Hai, daerah maritiem
‘cukupkan armada’ antar pulau.
Pbr. 17-8-75
Sudah bukan rahasia lagi bahwa penyair menulis puisi berdasarkan refleksinya atas lingkungan sekitarnya atau tempat tinggalnya. Perihal ‘cukupkan armada’ antar pulau itu barang tentu bukan suatu situasi yang asing bagi BM Syam. Ia dilahirkan di Natuna pada 10 Mei 1935 dan mukim di sana hingga dewasa sebelum melanjutkan sekolah tinggi di luar Natuna.
“Kalau kita lihat, sajak itu ditulis pada tahun 1975. BM Syam secara tersirat menggambarkan masalah penjagaan kedaulatan kelautan Indonesia di Natuna. Jadi, berkonflik dengan negara asing di wilayah laut Natuna jelas bukan persoalan baru,” begitu analisis Destriyadi.
Destriyadi adalah penulis dan koordinator komunitas sastra Natunasastra. Sebagai anak jati Natuna, ia sudah membaca banyak karya BM Syam dan puisi “Keluh Langkang Kapal Tua” ini, menurut Destriyadi, adalah satu yang paling kuat, paling terang, dari karya-karya BM Syam yang menyatakan kerisauan kedaulatan di Laut Natuna Utara atau yang ketika sajak itu ditulis masih disebut Laut China Selatan.
“BM Syam bahkan menyeru, memanggil, Hai, daerah maritiem. Sepenafsiran saya, daerah maritiem yang dimaksudkannya tak lain dan tak bukan adalah Indonesia, ya, negara kita ini,” ungkap Destriyadi.
Dan jangan lupakan pula, sambung Destriyadi, puisi ini sudah terbit jauh sebelum konvensi hukum laut internasional (UNCLOS) yang baru berlangsung tujuh tahun kemudian, atau pada 1982.
“Memang tidak bohong kata orang-orang itu; penyair memang bisa melihat masa depan,” kata Destriyadi berseloroh.
Puisi BM Syam adalah peringatan, sementara UNCLOS 1982 adalah jawaban tak langsung dari seruan dalam puisi tersebut. Konvensi itu menjadi paradigma hukum kokoh pemerintah Indonesia untuk berkuasa dan berdaulat penuh di wilayah laut dengan rentang wilayah dalam jarak 200 mil laut atau yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mengacu Pasal 57 UNCLOS 1982.
Tetapi, sebagaimana kita tahu, UNCLOS 1982 bukan babak akhir dari konflik di Laut Natuna Utara. Republik Rakyat Tiongkok (RTT) membawa argumen Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) sebagai dasar klaim kedaulatan mereka di wilayah tersebut.
Sembilan Garis Putus-Putus, tulis Zhiguo Gao dan Bing Bing Jia dalam jurnal hukum internasional (2013), adalah segmen garis dalam peta wilayah versi negara Tiongkok yang terbentang mengelilingi seluruh pesisir laut Tiongkok. Mereka mengajukan dokumen lain berupa peta resmi pemerintah Tiongkok bertarikh 1 Desember 1947 serta sejarah perikanan tradisional, yang menunjukkan bahwa nelayan Tiongkok sudah sejak lama mencari ikan sampai kawasan Laut Natuna Utara.
Tentu saja itu klaim sepihak dan pada 12 Juli 2016, pengadilan arbitrase yang dibentuk berdasarkan UNCLOS 1982 menolaknya dan menyebut klaim hak historis Tiongkok atas wilayah dalam Sembilan Garis Putus-Putus itu tidak memiliki akibat hukum bagi negara lain dan dianggap tidak sah.
Apakah Tiongkok ngotot klaim demi ikan belaka? Tentu saja tidak. Ada potensi lebih besar lain yang terkandung di dasar bumi Laut Natuna Utara, yakni potensi gas bumi. Sebuah survey pada 2022 menyatakan cadangan gas bumi di perairan Natuna Utara ditaksir sebanyak 1.045,62 juta kaki kubik dan cadangan gas alam potensial mencapai 1.605,24 BSCF.
Bahkan tidak berhenti di situ. Kepentingan Tiongkok atas wilayah ini juga bersangkut perihal perluasan wilayah yang berarti perluasan zona militer sehingga mereka merasa berhak mendirikan pangkalan militer di area tersebut.
Tentu saja klaim itu tidak bisa didiamkan. Presiden RI Joko Widodo, pada pertengahan 2020, merespons dengan tegas: “Tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.”
Perihal klaim berasas Sembilan Garis Putus-Putus pun pemerintah Indonesia tidak akan pernah mengakuinya. Masih pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut klaim itu tidak diakui oleh hukum internasional. “Terutama oleh UNCLOS 1982,” tegas Menteri Retno.
Pernyataan publik barulah awalan dari respons resmi pemerintah Indonesia. Tindakan nyata berupa peningkatan sarana pengawasan dan pertahanan di Laut Natuna Utara diperbanyak dan tidak hanya itu, kegiatan latihan gabungan pun makin sering digalakkan di perairan Natuna.
Terbaru, pada April lalu, tiga unsur Kapal Perang TNI AL, yakni KRI John Lie-358 KRI Sutedi Senoputra-378, dan KRI Tjiptadi-381 beserta Pesawat Udara TNI AL menggelar latihan di laut Natuna.
Panglima Komando Armada I (Pangkoarmada I) Laksamana Muda TNI Dr. Yoos Suryono H bahkan sampai ikut meninjau langsung latihan gabungan ini dengan menaiki KRI John Lie-358.
Laksamana Muda Yoos menjelaskan latihan ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan kesiapsiagaan prajurit dalam menghadapi berbagai situasi ancaman di Laut Natuna Utara yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Tercatat, setidaknya ada 251 personel yang terlibat pada latihan ini.
“Prajurit harus terus melatih naluri tempurnya menjaga laut nusantara,” tegasnya.
Terpisah, ditemui di Tanjungpinang, Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad mengakui bahwa kedaulatan Laut Natuna Utara mesti berada dalam kendali penuh pemerintah Indonesia. Keamanan dan kenyamanan nelayan Natuna dalam mencari ikan perlulah dijamin oleh negara.
“Karena keluhan seperti itu juga masih sering kami dengar. Maka kami selalu mendukung kebijakan pemerintah pusat untuk Natuna. Terlebih Pak Jokowi juga sudah berulang kali ke sini, itu menandakan beliau peduli dengan Natuna,” ungkap Ansar yang pada awal Mei lalu sempat melakukan kunjungan kerja ke Natuna.
Bagaimanapun, sambung Ansar, Natuna berada di daerah terdepan dengan potensi kelautan yang luar biasa dan karenanya harus dijaga bersama. “Masyarakat sangat memerlukan kehadiran negara di sini dan pemerintah pusat sudah memahami betul hal itu,” katanya.
Dan jika kelak telah terwujud wilayah perairan Natuna yang aman dari usikan Tiongkok, maka telah sepenuhnyalah seruan BM Syam tentang kedaulatan maritim lewat puisinya 49 tahun terjawab dengan utuh, penuh, dan seluruh. (Fatih Muftih)